"Sok resep lamun nempo budak ngora nu arulin make logo ". Kata seorang yang lebih tua di pos kamling pinggir jalan kampung. Di suasana hujan rincik rincik. Asap roko kretek murah semerbak harum menusuk cahaya remang lampu malam pos kayu berdinding bambu. Obrolan sekitar para aktivis pergerakan yang sibuk di luaran. Menggugah jiwa muda si tua tadi. Bisikan masa lalu mungkin terdengar di telinga beliau. Dia adalah senior. Dia adalah pengolah masa manuper terpandai dimasanya. Bahkan ada orang yang bilang dia pernah di culik dalam peristiwa 98. Dia adalah lampu merah di jalanan demokrasi pergerakan dijamannya. Aku hanya terdiam. Sambil melempar puntung roko kretek yang mau habis. Aku berpikir mungkin dia terlena kejayaan masa lalu. Kejayaan dimana sejarah ditoreh oleh teriakan di undangan audiensi. Sejarah di perjalanan pulang dengan tawa dan obrolan riuh gempita kemajuan yang di hambat perjuangan jihad aktivis muda.
Aku harus menyalakan roko lagi. Sambil mendengarkan beliau. Pikiran ku jauh menempuh batas kejayaan jaman beliau. Pamer dada di jalan. Kalau sekarang mungkin pamer surat dan tanda tangan. Atau seperti yang beliau bilang. Pamer logo di kop surat. Masih hujan di pertengahan malam. Dingin yang menyentuh tulang. Di tepian jalan motor dan mobil sudah jarang yang lewat. Obrolan belum berakhir. Di sambut raut ngantuk dan kesal. Karena esok hari masih sama. Masa lalu tinggal masa lalu. Merasa paling jago sudah di singkirkan hukum pelaku bermodal besar. Aktivis diam oleh segepok uang tambahan dapur istri minta saham. Arus air di tempa kincir hingga berputar antara kebutuhan dan menampar kebijakan.
Post a Comment