Maafkan Sianida, tidak tahu mana Mirna, yang mana Jesica


Seorang gadis miskin umur belasan menyuguhkan kopi hitam paling murah dengan dedak mengambang banyak di ujung gelas kepada wa joko di pos persimpangan ujung jalan kampung yang bersebelahan dengan warung si gadis tadi. Riak tawa pemuda malam itu asyik ngobrol mengenai pembunuhan yang pelakunya sianida. Tidak lain pembunuhan yang live di tayangkan televisi lokal negri ini. Pembunuhan karakter masyarakat awam oleh peran masyarakat intelek dan berduit. Gelak tawa wa joko terdengar sampai ke warung. si gadis hanya tersenyum seolah mengerti karena dia paling dekat nontonnya dengan TV. Berwarna kadang bersemut. Pertanyaannya kenapa wa joko tertawa. Karena wa joko hanya pemuda desa yang awam pengadilan awam hukum dan penggugat apalagi di suguhkan tim ahli yang bicara tentang unsur racun di tubuh manusia. Yahh unsur racun. Semua manusia mempunyai unsur racun. Bukan hanya si mirna saja mungkin hakim dan jaksa juga punya unsur racun. Entah racun naluri atau racun penjilat. Yang pasti masyarakat hanya masyarakat. Pengetahuan sebatas sejarah di jaman modern ini terbilang dengan satu telunjuk ini atau itu. Kita persepsikan dengan sadar mengenai pembunuhan yang kadang mirna kadang jesika. Kadang sianida kadang juga kopi pahit si gadis tadi. Bisa saja menerka nerka. Karena agama juga membolehkan menerka selama menerka itu tidak sampai jadi perkara perkepanjangan. Coba kita pikirkan ketika wa joko minum kopi tanpa ucapan ijin yang di bolehkan oleh agama. Atau ijin minimal dalam hati. Ini kopi saya minum. Kalau beracun saya mati. Di hadapan pemberi ijin. Kalau tidak beracun saya bersukur masih hidup. Mirna itu bukan artis atau pejabat tinggi negri ini. Jesika itu hanya orang biasa yang di deking oleh manusia penasaran. Mirna hanya mirna. Bersalah atau tidak. Membunuh atau tertuduh. Masyarakat tidak peduli. Masyarakat pinggiran tidak memaki. Masyarakat lokalisasi tidak bergeming mesti jelas motip dari pembunuhan itu. Kita hanya penonton sandiwara orang kaya. Penonton sandiwara jaman media. Penonton pertandingan tinju yang di hakimi para ahli. Kita tidak akan berubah atau merubah sejarah. Kita hanya berteriak mana keadilan bagi rakyat kecil.  Keadilan yang memihak pada masyarakat lemah. Masyarakat tidak tahu apa apa. Ketika keracunan kacang panjang salah satu pemuda kampung akibat mencuri kacang habis di semprot hama. Hingga meninggal. Keluarganya pasrah toh sudah saatnya meninggal dengan cara hakekatnya seperti itu. Kalapun harus di pisum atau di beulek hingga di hancurkan mayat pemuda itu. Untungnya apa buat apa. Toh keadilan tuhan akan datang nanti di akhir siapa dan kenapa. Lebih baik bagi kita menghormati mayat sebagai orang muslim. Hibur keluarga yang penasaran agar tabah. Hibur keluarganya dengan bacaan bacaan penuh makna dan berpahala. Di ahir kolom ini aku akan berpesan. Negri ini sudah di ambang ketidak adilan yang adil. Sebagai masyarakat muslim dan di pinggiran. Bersukur dalam beribadah karena kesunyianlah tempat kita merenungkan siapa diri kita. 

September 28. 2016

1 Comments

Post a Comment