Harus punah di telan banjir waktu hujan melanda kampung bukit siliwangi. Dataran rendah di himpit dua sungai yang keruh mengalir landai. Perasaan sudah agak malam, waktu aku menuju lembah itu. Aku menawarkan diri untuk diam ditempat cahaya remang lampu 5 watt depan warung roko yang sepi pembeli.
Mungkin adzan magrib tidak terdengar karena derasnya hujan dan petir. Hingga aku sejenak melihat jam sudah menunjukan pukul 6 lewat. Sebening kucuran air yang jatuh. Membuatku teringat kekejaman yang pernah terjadi di bukit ini. Kekejaman raja yang merasa turunan parabu siliwangi. Yang paham arti demokrasi.
Sudah agak gelap. Aku harus melanjutkan perjalanan ini. Menuju bukit pasir pari. Alunan suara batu berserakan di hempas roda motor. Jalan berlubang penuh genangan di lewati dengan kecepatan sedang membuat basah rumput liar pinggir jalan. Kembali ingatanku menuai reaksi hati yang miris melihat jalan penuh kerikil dan batu kali yang terlepas di badan jalan ke pinggir kali.
Sumpah itu harus dibarengi dengan kerja nyata yang di restui nakhoda kapal tak bernama. Di punggung demokrasi yang runtuh oleh selogan ingin di hargai. Pusat peradaban yang lekang oleh alunan murni hak ilahi. Menuai mimpi di ujung tombak perlawanan penuh aksi. Alam yang di lewati menjadi saksi akan ketimpangan demokrasi yang di selewengkan pihak anti nurani.
Belum juga sampai pada tujuan yang harus warga nikmati. Kita di tuntut membangun negri dengan rasa ingin di musuhi pejabat anti korupsi. Perjalanan ini semakin lelah untuk tidak lagi berhenti di tempat teduh dan gelapnya hutan pari. Perjuangan masih belum di capai pemuda ahli tendensi. Akan hakekat adanya perasaan ingin menghadiri acara sosialisasi. Sudah tidak lagi akar pari tembus ke dalam tanah.
Demokrasi terhimpit turunan prabu siliwangi.
Post a Comment