Tulisan ini hasil karya Emha ainun najib. Yang mengingatkan saya pada suara adjan di kampung saya yang seakan suaranya tidak membawa semangat. Suaranya lesu. Suaranya seperti sangeuk......
Pada suatu sore di abad ke-15. Baru saja muazin Masjidil Haram di Makkah itu
mengangkat tangan hendak memulai azan, tiba-tiba
sudah terdengar gaung amat keras dan indah
—“Allahu Akbar…” Azan itu entah disuarakan oleh siapa dan dari mana.
Seluruh jamaah bengong. Tetapi Sunan Kalijaga, yang duduk di saf agak belakang, tersenyum. Tiba-tiba beliau berbisik, “Sudahlah, Nak…!” dan
suara ajaib itu pun mendadak berhenti. Kata sahibulhikayat, si muazin siluman itu adalah
salah seorang murid Sunan Kalijaga di Lamongan.
Dari masjid di sebuah bukit kecil, suara azannya
terdengar sampai tanah Arab. Ah! Jon ini cerita apaan! Lho, soal kebenaran cerita ini Anda bebas untuk
percaya atau tidak. Tapi setiap pelajaran baik, wajib
kita reguk. Begini. Orang Arab itu kalau azan terlalu pragmatis. Cag-ceg, tak terlalu berorientasi pada keindahan. Ingat film The Messenger of God, yang mengungkapkan bagaimana sahabat Bilal berazan? Lha, orang negeri Nusantara, macam Sunan
Kalijaga itu, sangat memandang penting estetika. Ia
bahkan terkenal menggunakan wayang untuk media
dakwah. Azan pun, kalau bisa, sedemikian rupa. Maka lahirlah ‘kritik’ di Masjid Haram itu. Bagaimana azan di masjid Anda? Sehebat pak
Jundi yang klasik atau Munhamir yang romantik di
Masjid Besar Kauman? Atau muazin Anda suka
azan laras slendro pelog? Atau sudah setaraf azan abadi karya suara Syekh Mahmud Al-Khusyairi? Seringkali, kalau Jon mendengar azan dari masjid
sana-sini, yang keras tapi tak enak di telinga, Jon
berpikir, “Kalau begini, bagaimana orang akan
tergugah masuk Islam?”
Secangkir Kopi Jon Pakir. Bandung: Mizan, 1992
Post a Comment