Kiyai dan bau tarasi

Sebenarnya ingin sekali pembaca tahu mengenai apa yang saya utarakan di tulisan ini. Ini mengenai penomena kesengajaan. Penomena lumrah terjadi tapi terselubung industri produksi sikap posesif pasangan. Saya jadi perihatin, tapi kondisi di samping kesengajaan itu jadi realita yang kerap saya temui dan hampir bisa di katakan saya sendiri mengalami. Ini bukan kisah saya. Kisah mereka atau kisah kemungkinan anda sebagai pembaca. Tapi biarlah seleksi agama bicara akan dosa. Tapi kenyataan melapangkan dada kita, karena itu sudah melanggar moral itikad baik tujuan suci dari suatu pernikahan. Tujuan dimana posisi kita menekan hawa bias setan yang bergelantungan di kelopak mata dan di benda sakti warisan nenek moyang lelaki. Jaringan komunikasi yang jadi tarasi penyebab bau yang mendominasi jembatan hubungan terjadi. Tapi bagaimana bisa di retas. Tooh itu sudah jadi bagian dari kebutuhan. Bahkan mungkin jadi kebutuhan rohani. Na uju billah. Kapan ini bisa dikenakan biaya dalam penjualan pahala dan dosa kita. Kapan ini bisa di cerna bila kata kata maut dan persentasi perceraian jadi kian marak di sebabkan oleh tarasi bau tadi. Ampuni hamba gusti. Hamba punya modal ini saja untuk tiba di saat yang tak tepat. Mungkin itu doanya dan itu pintanya. Tapi kian hari kian jadi pandangan umum masalah ini bertindak wajar. Saya jadi menengadah menjawab pertanyaan kawan saya mengenai persaingan kekuasaan di pertigaan puncak substansi moral ini. Mungkin tak bisa di pungkiri realita jaman ini harus begini. Saling mengedepankan ego dari masing masing merasa paling. Dan masing masing merasa aing. Saya jadi terkesan menghakimi keadaan yang tidak bisa di rubah ini. Tapi saya punya bukti kalau ini sudah di luar kendali para kiyai lokal yang sukanya bikin proposal. Para kiyai lokal yang sukanya naik motor pake peci putih berlagak haji padahal umrohpun belum daptar. Seharusnya ada tindakan pencegahan dari para ustadj dan para kiyai atau tokoh agama di berbagai wilayah nusantara. Waduh terlalu luas kalau nusantara. Tapi minimalkan saja di kampung saya. Yang seuprek susunan rumah bisa sejam di hitung luasnya. Saya menyesalkan para tokoh agama di sini. Hanya bisa mengaji dan mengajak mengaji. Tapi praktek apa yang di aji. Hanya jadi perkataan di saat keluar dari majlis sambil mencari sandal yang tertukar. Masya Allah. Kapan mengenanya ke setiap jiwa dan jadi disiplin dan di pake keseharian nya. Ternyata permasalah tarasipun makin bertambah dan bertambah tiap tahun. Sekarang saya jadi bingung pada mereka yang punya pengetahuan hukum dosa besar yang minimal walau tidak seratus persen di praktekan atuh sa parapatna. Untuk membuat efek jera. Ternyata saya harus berhenti menulis dulu sebentar. Karena baru saja anak saya menemukan gunting kuku yang di cari-cari dari kemarin. Kuku saya sudah pada panjang dan sampai tidak bisa cuci tanggan dari dosa dosa perselingkuhan. 

Sekian. Oktober. 2, 2016

Post a Comment