Tulisan ini tentang kebencian yang mendalam. Tentang amarah pada ketidak adilan peradaban hidup. Pada kalian yang samar berlaku dosa dan hura hura. Kasihan alam ini sudah menitikan air mata getah di sela sela ranting patah. Kasian tanah ini yang diinjak kaki kaki kotor para penunggu malam. Kasian udara ini sudah kotor di nodai darah penyakitan.
Malam dan siang menunggu gejolak angin menerpa baling baling awal tahun musim penghujan. Anginnya berhembus menerpa pohon dan atap berumput pakis liar. Kejahatan dimulai dengan asap kendaraan pekat di pertemuan malam.
Berlaku kah. Setan memandang dan mendekap hangat di rumput rumput mewah dengan kasur lembab bekas perkelahian bergantian. Sungguh najis malam di lalui dengan tabiat hasrat pengaruh permentasi.
Sudah saatnya bencana melanda tanjakan miring. Sudah saatnya bencana merugikan pelaku perjalanan yang menikmati malam. Sudah saatnya hari ini bumi mengais mereka dan menelan mereka di perutnya.
Sedangkan berisik masih terdengar di telinga mengganggu ketenangan massal. Pesta pun di gelar. Dengan gelas gelas pecah di karpet merah dan bercorak. Hampir menemui pagi. Tapi darah masih menggigil. Darah masih dingin. Dan secangkir kopi hitam meledak di gelas sudut sepuluh. Memanaskan suasana obrolan terdakwa jadi terduga dan sebaliknya.
Awan mulai nampak tanda pagi mengeruak. Cahayanya tidak dapat menembus hati yang telah rusak. Berjalanlah ketebalan muka sehabis bercengkrama dengan paha dan dada.
Post a Comment